Rabu, 29 Oktober 2014

Cerpen; Peri Hujan Merindukan Rembulan

Cinta dan kebahagiaan tidak selamanya berbanding urus.. Orang yang sangat kita sayangi bisa saja menyakiti kita.. Demikian juga sebaliknya. Cinta hadir tanpa bisa diprediksi dan dia berlalu secepat kedipan mata tanpa bisa kamu menahannya. Dia bisa melukai dengan perkataan tetapi juga bisa melukaimu dengan kebisuannya, membuatmu meraba dalam gelap seakan dihantui keraguan sepanjang badan. Kenapa saling mencintai menjadi begitu pahit? Pertanyaan itu tidak kunjung terjawab membuat kita mendalihkannya pada takdir. Peri Hujan selalu merindukan rembulannya, namun rembulan seakan tidak pernah mengangapnya ada, tidak pernah merindunya bahkan untuk sedetik.

Ia menari dalam kegelisahan, menanti secercah sinar rembulan setiap malam. Tak perduli bulan penuhkah itu, bulan setengahkah itu, atau bahkan bulan sabit yang akan hilang sekalipun. Ia selalu bersenandung dalam lirih yang hanya dimengerti oleh airmatanya sendiri. Tidak ada yang mengerti.. Tidak juga mentari yang mengeringkan tangisnya.

Ada apa gerangan? Mungkin rembulan memang tidak mampu menyeka bening di pipinya.. Namun rembulanlah yang mampu menghentikan tangis dari pelupuk matanya. Tindakan rembulan bak awan yang bisa dilihat namun tak berakar. Mungkinkah rembulan juga sedang merangkak dalam ragu? Peri hujan mampu melihat rembulan sedang mendengar lirih, kerinduan, dan juga perasaannya yang disampaikan oleh gema. Namun ia tidak mengerti kenapa rembulan enggan menghampirinya dan mengajaknya melintasi malam berdampingan..

Ia tidak pernah mendendam pada rembulan, meski ia harus berjalan di dalam kebimbangan gelapnya malam. Ia tidak pernah membencinya meski ia tau rembulan tidak benar-benar mengharapkannya. Ia tulus menyayangi rembulan meskipun ia tau bahwa dia dan rembulan serasa begitu dekat sedekat awan dan denyut di nadinya, namun juga kadang begitu jauh seakan tak pernah tergapaikan..

Peri hujan mulai melepaskan harapnya itu, bukan karena tidak lagi menyayangi rembulan, tetapi karena ia terlalu menyayangi rembulan sehingga ia ingin membentangkan sayapnya seluas yang ia bisa, semampunya tanpa takut kalau sayapnya itu akan patah. Terasa sakit ketika ia harus benar-benar membentangkan sayap mungilnya, tersiksa karena sayap itu belum pernah direnggangkannya seluas ini. Ia mengambil resiko untuk kehilangan sayapnya jika sayap itu patah, namun yang ia temukan adalah sayap mungilnya tidaklah patah melainkan bertumbuh dan semakin bertumbuh. Rasa sayangnya pada rembulan terlalu besar untuk dikalahkan oleh rasa sakit dan lelahnya. Hingga pada satu hari, Sang Rembulan akhirnya menyadari bahwa peri hujan benar-benar menyayanginya, karena dimanapun rembulan berada, siang ataupn malam, sakit ataupun senang, bahkan jika rembulan melupakan peri hujan, ia tetap berada dibawah naungan sayap kasih sayang dan kerinduannya..

Peri Hujan Merindukan Purnama, dan ia selalu menantinya diujung keputus-asaannya. Tidak pernah bepaling, tidak pernah berdalih, meski tak terberbalas. Ia tau hatinya yang telah dimiliki oleh rembulan tidak akan pernah kembali utuh. Ia tulus setulus-tulusnya, tidak meminta atau bahkan mengharapkan balasan itu, ataupun menuntut untuk dikembalikan.. Dan ia akhirnya bisa berkata pada rembulan bahwa menyayangi rembulan tidak membutuhkan alasan dan juga balasan. Perasaan itu begitu natural, begitu alamiah, murni.. Tumbuh dan berkembang secara alamiah tanpa bisa kau hentikan.. Begitulah cinta Peri hujan kepada sang rembulan..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar